Minggu, 25 Desember 2016

ISLAM NUSANTARA



BAB  I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
ISLAM adalah agama yang universal, sempurna, dinamis, lentur, elastis dan selalu dapat menyesuaikan dengan situasi dan kondisi. Islam dikenal sebagai salah satu agama yang akomodatif terhadap tradisi lokal dan ikhtilāf ulama dalam memahami ajaran agamanya. Islam dibawa oleh Nabi Muhammad saw. kepada seluruh manusia dalam segala aspek kehidupan, termasuk dalam bidang sosial politik. Beliau membebaskan manusia dari kegelapan peradaban menuju cahaya keimanan.
Universalisme Islam yang dimaksud adalah bahwa risalah Islam ditujukan untuk semua umat, segenap ras dan bangsa serta untuk semua lapisan masyarakat (al-Islam Shalih li Kulli Zamān wa Makān). Ia bukan risalah untuk bangsa tertentu yang beranggapan bahwa mereka bangsa yang terpilih, dan karenanya semua manusia harus tunduk kepadanya. Risalah Islam adalah hidayah dan rahmat Allah untuk segenap manusia.
Sebagaimana dijelaskan dalam Q.S. al-Anbiyā/21 : 107.
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلا رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ
Dan tiadalah kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.
Demikian pula dalam Q.S. al-Furqān/25 : 1.
تَبَارَكَ الَّذِي نَزَّلَ الْفُرْقَانَ عَلَى عَبْدِهِ لِيَكُونَ لِلْعَالَمِينَ نَذِيرًا
Mahasuci Allah yang telah menurunkan Furqan (Al-Qur’an) kepada hamba-Nya (Muhammad), agar dia menjadi pemberi peringatan kepada seluruh alam (jin dan manusia).
Universalisme Islam merupakan suatu ajaran yang diterima oleh seluruh umat Islam sebagai akidah. Persoalan universalisme Islam dapat dipahami secara lebih jelas melalui sifat al-Waqi’iyyah (berpijak pada kenyataan obyektif manusia).
Ajaran universal Islam mengenai aspek kehidupan berbangsa dan bernegara akan terwujud secara substansial, tanpa menekankan simbol ritual dan tekstual. Ajaran Islam bukanlah agama “baru”, melainkan agama yang sudah dikenal dan dijalankan oleh umat manusia sepanjang zaman, karena sejak semula telah terbit dari fitrahnya sendiri. Islam sebagai agama yang benar, agama yang sejati dan mengutamakan perdamaian. Sebagai agama Rahmatan Li al-‘Ālamīn, agama Islam mampu mengakomodasi semua kebudayaan dan perabadan manusia di seluruh dunia.
Meskipun Indonesia merupakan salah satu negara muslim mayoritas di dunia, namun paling sedikit mendapat pengaruh Arabisasi, dibandingkan dengan negara-negara muslim besar lainnya. Dua ciri paling utama dalam kesenian Islam yakni arabesk dan kaligrafi, paling sedikit mempengaruhi budaya Indonesia.
Selain itu, dalam proses Islamisasi di nusantara, penyebaran agama dan kebudayaan Islam tidak menghilangkan kebudayaan lokal dan tidak menggunakan kekuatan militer dalam upaya proses Islamisasi. Hal itu disebabkan karena proses Islamisasi dilakukan secara damai melalui jalur perdagangan, kesenian, dan perkawinan dan pendidikan. Islamisasi juga terjadi melalui proses politik, khususnya pada pemikiran politik Soekarno yang membuka lebar bagi golongan Islam untuk mengislamkan negara dengan wilayah pengaruh yang relatif besar.
Untuk mengetahui hal itu, harus dipahami dalam konteks budaya Indonesia mengalami dualisme kebudayaan, yaitu antara budaya keraton dan budaya populer di tingkat bawah (masyarakat). Dua jenis kebudayaan ini sering dikategorikan dalam kebudayaan tradisional.
A.Mustofa Bisri atau Gus Mus (Rais ‘Aam PBNU) mengungkapkan, saat ini dunia sedang melirik Indonesia sebagai referensi keislaman, sudah tidak lagi melirik ke Islam di Timur-Tengah yang hingga kini masih terjadi banyak keributan. “Sampean (kalian) jangan bingung, mana yang Islam mana yang bukan Islam. Sana kok membunuh orang, sini kok membunuh orang juga. Sana kok ngebom, sini kok ngebom. Itu Islam dengan sesama Islam, apa non-Islam dengan non-Islam ?”. Kita dibingungkan oleh kondisi Islam di Timur Tengah selama ini sebagai kiblat Islam, khususnya Saudi Arabia, tetapi kenyataannya banyak pihak yang tidak cocok dengan Saudi Arabia.
Atas dasar hal itulah kemudian para Ulama di Indonesia membuat konsep sebagai refleksi pemahaman atas Islam dengan sebutan “ Islam Nusantara “.

B.     Rumusan Masalah
Agar pembahasan dalam makalah ini tidak melebar ke hal lain – lainnya, penyusun merumuskan beberapa hal sebagai titik fokus pembahasan dalam makalah ini, yaitu :
1.      Apa Sebenaarnya Definisi Islam Nusantara ?
2.      Apa Ajaran / Konsep Islam Nusantara
3.      Adakah alasan logis mengapa Islam Nusantara patut di kembangkan ?

C.    Tujuan Penulisan
Makalah ini di susun dengan tujuan sebagai berikut :
1.      Sebagai Literatur / Referensi Dasar bagi Mahasiswa hususnya semester I STAIMA Cirebon dalam memahami perkembangan NU dan Ke-Nu an.
2.      Ingin mengetahui apa yang dimaksud dengan Islam Nusantara.
3.      Ingin mengetahui Ajaran / Konsep Islam Nusantara
4.      Ingin mengetahui alasan Islam Nusantara patut di kembangkan.

D.    Metode dan Teknik Penulisan
Metode yang digunakan dalam penyusunan makalah ini adalah metode Deskriptif Analitik, yakni dengan mengungkapkan masalah – masalah yang dikaji kemudian di analisis bedasarkan teori – teori yang ada dan pengetahuan penyusun.
Adapun teknik penulisan yang digunakan dalam menyusun makalah ini adalah kajian kepustakaan dan diskusi.

E.     Sistematika Penulisan
Dalam penyusunan makalah ini menggunakan sistematika penulisan sebagai berikut :
BAB  I  PENDAHULUAN
Dalam Bab ini di uraikan tentang latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penulisan makalah, metode dan teknik penulisan makalah serta sistematika penulisan makalah.
BAB  II  PEMBAHASAN
Dalam Bab ini di uraikan tentang pengertian Islam Nusantara, Misi atau Konsep Islam Nusantara, dan alasan mengembangkan Islam Nusantara.
BAB  III  PENUTUP
Dalam Bab ini di uraikan tentang kesimpulan dari pembahasan – pembahasan pada Bab sebelumnya serta saran – saran bagi para pembaca umumnya.



BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Islam Nusantara
Ada beberapa pendapat para ahli tentang definisi Islam Nusantara, di antaranya adalah :
1.      Definisi dari Guru Besar Sejarah Kebudayaan Islam UIN Syarif Hidayatullah Azyumardi Azra. Beliau mendefinisikan “Islam Nusantara adalah Islam distingtif sebagai hasil interaksi, kontekstualisasi, indigenisasi dan vernakularisasi Islam universal dengan realitas sosial, budaya dan agama di Indonesia”
2.      Definisi dari Katib Syuriah PBNU yang juga pengajar di Ma’had Aly Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Asembagus Situbondo K.H. Afifuddin Muhajir mendefinsikan “Islam Nusantara” sebagai “faham dan praktik keislaman di bumi Nusantara sebagai hasil dialektika antara teks syariat dengan realita dan budaya setempat”, (NU Online, 27/6).
3.      Definisi dari Intelektual muda NU yang produktif menulis, yakni Ahmad Baso, menurutnya “Islam Nusantara” adalah “ma’rifatul ulama-i-l-Indonesiyyin bil-ahkami-sy-syar’iyyah al-amaliyyah al-muktasab min adillatiha-t-tafshiliyyah” atau “majmu’atu ma’arifil -l- ulama-i-l-Indonesiyyin bil-ahkami-sy-syar’iyyah al-amaliyyah al-muktasab min adillatiha-t-tafshiliyyah” (al-Quran, Hadits, Ijma’ dan Qiyas).
4.      Definisi dari Gus Mus ( KH. Musthofa Bisyri ), secara sederhana beliau menjelaskan maksud Islam Nusantara, yakni Islam yang ada di Indonesia dari dulu hingga sekarang yang di ajarkan Wali Songo, “ Islam ngono iku seng digleki wong kono ( Islam seperti itu yang di cari orang sana ), Islam yang damai, guyub ( Rukun ), ora petentengan ( tidak mentang – mentang ), dan yang rahmatan lil ‘alamin.” Terangnya.
5.      Prof Isom Yusqi (Direktur Program Pascasarjana STAINU Jakarta ) menjelaskan bahwa Islam Nusantara merupakan “istilah yang digunakan untuk merangkai ajaran dan paham keislaman dengan budaya dan kearifan lokal Nusantara yang secara prinsipil tidak bertentangan dengan nilai-nilai dasar ajaran Islam”. (NU Online, 25/6).


B.     Misi atau Konsep Islam Nusantara
1.      Asal Usul Islam Nusantara
Dalam Islam, rujukan beragama memang satu, yaitu al-Qur’an dan al-Hadits, namun fenomena menunjukkan bahwa wajah Islam adalah banyak. Ada berbagai golongan Islam yang terkadang mempunyai ciri khas sendiri-sendiri dalam praktek dan amaliah keagamaan. Tampaknya perbedaan itu sudah menjadi kewajaran, sunatullah, dan bahkan suatu rahmat. Quraish Shihab mencatat bahwa ;
Keanekaragaman dalam kehidupan merupakan keniscayaan yang dikehendaki Alah. Termasuk dalam hal ini perbedaan dan keanekaragaman pendapat dalam bidang ilmiah, bahkan keanekaragaman tanggapan manusia menyangkut kebenaran kitab-kitab suci, penafsiran kandungannya, serta bentuk pengamalannya”.

Yang menjadi permasalahan adalah dapatkah dari yang berbeda tersebut dapat saling menghormati, tidak saling menyalahkan, tidak menyatakan paling benar sendiri (Truth Claim), dan bersedia berdialog, sehingga tercermin bahwa perbedaan itu benar-benar rahmat. Jika ini yang dijadikan pijakan dalam beramal dan beragama, maka inilah sebenarnya makna konsep “Islam moderat”. Artinya, siapa pun orangnya yang dalam beragama dapat bersikap sebagaimana kriteria tersebut, maka dapat disebut berpaham Islam yang moderat. Walaupun dalam Islam sendiri konsep “Islam moderat” tidak ada rujukannya secara pasti, akan tetapi untuk membangun ber-Islam yang santun dan mau mengerti golongan lain, tanpa mengurangi prinsip-prinsi Islam yang sebenarnya, konsep “Islam moderat” tampaknya patut diaktualisasikan.
Berpaham Islam moderat sebagaimana disebutkan, sebenarnya tidaklah sulit mencari rujukannya dalam sejarah perkembangan Islam, baik di wilayah asal Islam itu sendiri maupun di Indonesia. Lebih tepatnya, Islam moderat dapat merujuk, jika di wilayah tempat turunnya Islam, kepada praktek Islam yang dilakukan Nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya, khususnya al-Khulafa al-Rashidin, sedangkan dalam konteks Indonesia dapat merujuk kepada para penyebar Islam yang terkenal dengan sebutan Walisongo.
Menurut catatan Abdurrahman Mas’ud, Walisongo merupakan agen-agen unik Jawa pada abad XV-XVI yang mampu memadukan aspek-aspek spiritual dan sekuler dalam menyiarkan Islam. Posisi mereka dalam kehidupan sosio-kultural dan religius di Jawa begitu memikat hingga bisa dikatakan Islam tidak pernah menjadi the religion of Java, jika sufisme yang dikembangkan oleh Walisongo tidak mengakar dalam masyarakat. Rujukan ciri-ciri ini menunjukkan ajaran Islam yang diperkenalkan Walisongo di Tanah Jawa hadir dengan penuh kedamaian, walaupun terkesan lamban tetapi meyakinkan. Berdasarkan fakta sejarah, bahwa dengan cara menoleransi tradisi lokal serta memodifikasinya ke dalam ajaran Islam dan tetap bersandar pada prinsip-prinsip Islam, agama baru ini dipeluk oleh bangsawan-bangsawan serta mayoritas masyarakat Jawa di pesisir utara.
Tampaknya Walisongo sadar, bagaimana seharusnya Islam dibumikan di Indonesia. Mereka paham bahwa Islam harus dikontekstualisasikan, tanpa menghilangkan prinsip-prinsip dan esensi ajaran, sesuai dengan kondisi wilayah atau bumi tempat Islam disebarkan. Inilah yang kemudian dikenal dengan konsep “pribumisasi Islam”. Gagasan ini dimaksudkan untuk mencairkan pola dan karakter Islam sebagai suatu yang normatif dan praktek keagamaan menjadi sesuatu yang kontekstual. Dalam “pribumisasi Islam” tergambar bagaimana Islam sebagai ajaran yang normatif berasal dari Tuhan diakomodasikan ke dalam kebudayaan yang berasal dari manusia tanpa kehilangan identitasnya masing-masing. Lebih konkritnya, kontekstual Islam dipahami sebagai ajaran yang terkait dengan konteks zaman dan tempat. Perubahan waktu dan perbedaan wilayah menjadi kunci untuk kerja-kerja penafsiran dan ijtihad. Dengan demikian, Islam akan mampu terus memperbaharui diri dan dinamis dalam merespon perubahan zaman. Selain itu, Islam dengan dinamis/lentur mampu berdialog dengan kondisi masyarakat yang berbeda-beda dari sudut dunia yang satu ke sudut yang lain. Kemampuan beradaptasi secara kritis inilah yang sesungguhnya akan menjadikan Islam dapat benar-benar Shalih Li kulli Zaman wa Makan  (cocok untuk setiap zaman dan tempat).
Generasi pengusung Islam moderat di Indonesia berikutnya, hanya sekedar miniatur, mungkin dapat merujuk kepada praktek Islam yang dilakuakan organisasi semacam Muhammadiyah dan NU (Nahdatul Ulama). Ber-Islam dalam konteks Indonesia semacam ini lebih cocok diungkapkan, meminjam konsepnya Syafi’i Ma’arif, dengan ber-“Islam dalam Bingkai Keindonesiaan”. Azyumardi Azra juga kerap menyebut bahwa Islam moderat merupakan karakter asli dari keberagamaan Muslim di Nusantara.
Sebagaimana dikatakan, ketika sudah memasuki wacana dialog peradaban, toleransi, dan kerukunan, sebenarnya ajaran yang memegang dan mau menerima hal tersebut lebih tepat disebut sebagai moderat. Jadi, ajaran yang berorientasi kepada perdamaian dan kehidupan harmonis dalam keberbagaian/kebhinekaan, lebih tepat disebut moderat, karena gerakannya menekankan pada sikap menghargai dan menghormati keberadaan “yang lain” (the other). Term moderat adalah sebuah penekanan bahwa Islam sangat membenci kekerasan, karena berdasarkan catatan sejarah, tindak kekerasan akan melahirkan kekerasan baru. Padahal, Islam diturunkan Allah adalah sebagai rahmatan lil alamin (rahmat bagi seluruh masyarakat dunia).
Dalam perjalanan sejarah, NU adalah organisasi Islam yang paling produktif membangun dialog di kalangan internal masyarakat Islam, dengan tujuan membendung gelombang radikalisme. Dengan demikian, agenda Islam moderat tidak bisa dilepas dari upaya membangun kesaling-pahaman (mutual understanding) antar peradaban.
Sikap moderasi NU pada dasarnya tidak terlepas dari akidah Ahlusunnah waljama’ah (Aswaja) yang dapat digolongkan paham moderat. Dalam Anggaran Dasar NU dikatakan, bahwa NU sebagai Jam’iyah Diniyah Islamiyah berakidah Islam menurut paham Ahlussunah waljamaah dengan mengakui mazhab empat, yaitu Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hambali. Penjabaran secara terperinci, bahwa dalam bidang akidah, NU mengikuti paham Ahlussunah waljamaah yang dipelopori oleh Imam Abu Hasan Al-Asy’ari, dan Imam Abu Mansyur Al-Maturidi. Dalam bidang fiqih, NU mengikuti jalan pendekatan (al-mazhab) dari Mazhab Abu Hanifah Al-Nu’man, Imam Malik ibn Anas, Imam Muhammad ibn Idris Al-Syafi’i, dan Ahmad ibn Hanbali. Dalam bidang tasawuf mengikuti antara lain Imam al-Junaid al-Bagdadi dan Imam al-Ghazali, serta imam-imam yang lain.
Model keberagamaan NU, sebagaimana disebutkan, mungkin tepat apabila dikatakan sebagai pewaris para wali di Indonesia. Diketahui, bahwa usaha para wali untuk menggunakan berbagai unsur non-Islam merupakan suatu pendekatan yang bijak. Bukankah al-Qur’an menganjurkan sebuah metode yang bijaksana, yaitu “serulah manusia pada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan nasehat yag baik” (QS. An-Nahl: 125).32. Dalam mendinamiskan perkembangan masyarakat, kalangan NU selalu menghargai budaya dan tradisi lokal. Metode mereka sesuai dengan ajaran Islam yang lebih toleran pada budaya lokal. Hal yang sama merupakan cara-cara persuasif yang dikembangkan Walisongo dalam meng-Islam-kan pulau Jawa dan menggantikan kekuatan Hindu-Budha pada abad XVI dan XVII. Apa yang terjadi bukanlah sebuah intervensi, tetapi lebih merupakan sebuah akulturasi hidup berdampingan secara damai. Ini merupakan sebuah ekspresi dari “Islam kultural” atau “Islam moderat” yang di dalamnya ulama berperan sebagai agen perubahan sosial yang dipahami secara luas telah memelihara dan menghargai tradisi lokal (local wisdom) dengan cara mensubordinasi budaya tersebut ke dalam nilai-nilai Islam.
KH A Mustofa Bisri mengungkapkan, saat ini dunia sedang melirik Indonesia sebagai referensi keislaman, sudah tidak lagi melirik ke Islam di Timur-Tengah yang hingga kini masih terjadi banyak keributan. Ungkap Rais ‘Aam PBNU itu saat menyampaikan tausiyah di Pengajian Pitulasan Masjid Al-Aqsha Menara Kudus, kabupaten Kudus, Jawa Tengah, Ahad (12/7) malam.
“Sampean (kalian) jangan bingung, mana yang Islam mana yang bukan Islam. Sana kok membunuh orang, sini kok membunuh orang juga. Sana kok ngebom, sini kok ngebom. Itu Islam dengan sesama Islam, apa non-Islam dengan non-Islam ?
Kiai yang akrab disapa Gus Mus itu merasa bingung karena kondisi Islam di Timur Tengah selama ini sebagai kiblat Islam, khususnya Saudi Arabia, tetapi kenyataannya banyak pihak yang tidak cocok dengan Saudi Arabia.  “Kacau balau, antara politik dan agama sudah campur aduk ora karu-karuan. Akhirnya terjadi di negara-negara yang penduduknya mayoritas tidak muslim timbul Islamophobia. Ketika melihat orang Islam, pada ketakutan karena takut dibunuh, takut dibom,” sindir Gus Mus.
Untuk itulah, Jam’iyyah Nahdlatul Ulama (NU) membuat tema pada muktamar ke-33 lalu tentang Islam Nusantara “Meneguhkan Islam Nusantara Untuk Peradaban Indonesia dan Dunia”.
2.      Dasar – dasar Islam Nusantara
Sebagai pencetus Wacana Islam Nusantara, NU merumuskan dasar – dasar dari Konsep Islam Nusantara, sebagaimana yang di jelaskan oleh Amin Rais Aam PBNU, Dr KH Ma’ruf Amin dalam Halaqah Kebangsaan bertajuk Islam Nusantara yang digelar oleh Fraksi PKB DPR RI, Rabu (19/8) di Kantor FPKB Gedung Nusantara I lantai 18 Senayan, Jakarta.
Beliau memaparkan ada tiga rumusan ( Dasar / Rukun ) yang perlu dipahami oleh masyarakat terkait Islam Nusantara, yakni :
a)      Fikroh
Aspek fikrah, yaitu cara berfikir yang moderat, artinya tidak tekstual, tetapi juga tidak liberal. Tekstual hanya berpegang pada nash. Cara berfikir seperti ini menurut Qaraafi, al-Jumud alal manqullat abadan dholalun fiddin, wajahlun bi maqhosidi ulama amilin.
“Islam Nusantara tidak tekstual. Tidak hanya pada aspek tertulis, namun juga aspek yang bersifat ijtihadiyah. Ketika kita meghadapi masalah yang tidak ada teks, mereka menganggap seudah selesai. Kalau NU, melihat dulu, ia bertentangan dengan nash atau tidak. Karena selain nash al-Qur’an dan Hadits, ulama NU juga menggunakan metode istihsan atau maslahah,” terangnya yang juga diampingi narasumber lain, Syafiq Hasyim PhD dan AkhmadSahal.
Dia menjelaskan, jika sebuah amalan tak ada di nash, tetapi ia membawa kebaikan di tengah masyarakat, maka hal itu justru harus dilestarikan. “Idza wujida nash fatsamma maslahah. Idza wujidal maslahah fasyar’ullah, sesuatu yang baik dan tidak menyimpang dari agama, tidak apa-apa. Kalau menurut muslim baik, Insya Allah menurut Allah juga baik,” paparnya.

b)      Harokah
Dalam aspek ini terdapat upaya ishlahiyyah dalam diri Islam Nusantara, yaitu melakukan perbaikan. NU jamiyyah perbaikan dan reformasi. Karena itu, ada paradigma menjaga tradisi dan mengembangkan inovasi. “Jangan cuma mengambil hal baik, karena itu pasif, tidak inovatif, Al-Islah ila ma hual ashlah wah ashlah. Inovatif,aktif,kritis,”tegasnya.

Aspek Islam Nusantara sebagai sebuah gerakan ini, menurut Kiai Ma’ruf harus bersifat harakah tawazuniyyah, yaitu seimbang di segala bidang. Selain itu, Tathowwiiyyan, sukarela. Tidak ada pemaksaan, namun bukan tidak berbuat apa-apa. Kemudian santun dan toleran, sepakat untuk tidak sepakat. Karena menurutnya, memang pasti ada masalah ketika proses menyosialisasikannya.
“Oleh sebab itu, ada dua yang harus diperjuangkan, yaitu tatbiqiyyan (ajaran agama menjadi sumber inspirasi, kaidah berfikir) dan taqririyyan (ada yang hanya substansi, ada yang harus formal). Kalau saya silahkan saja kedua-duanya, sepanjang tidak menimbulkan konflik. Kalau dibutuhkan formal ya boleh, sepanjang tidak menyebabkan konflik,” jelasnya.
c)      Amaliyah
Amaliyah yang dilakukan oleh NU lahir dari dasar pemikirannya yang melandaskan diri ushul fiqh dan fiqh. Seperti tradisi-tradisi dan budaya yang telah berlangsung sejak lama di tengah masyarakat, tidak begitu saja diberangus, namun dirawat sepanjang tidak menyimpang dari nilai-nilai ajaran Islam.
“Islam Nusantara harus lebih digali lagi sebagai perilaku bangsa. Supaya tidak ada lagi Islam radikal,” pungkasnya. (Sumber: NU Online)

3.      Penanda Islam Nusantar
Ada lima penanda Islam Nusantara, yakni
1)      Reformasi (islahiyyah). Artinya, pemikiran, gerakan, dan amalan yang dilakukan para Nahdliyin selalu berorientasi pada perbaikan. Pada aspek pemikiran, misalnya, selalu ada perkembangan di sana (tatwir al-fikrah), dan karena itu, pemikiran Islam Nusantara adalah pemikiran yang ditujukan untuk perbaikan terus. Cara berpikirnya adalah tidak statis dan juga tidak kelewat batas.
2)      Tawazuniyyah, yang berarti seimbang di segala bidang. Jika sebuah gerakan diimplementasikan, maka aspek keseimbangan juga harus dijadikan pertimbangan. Tawazunniyyah ini menimbang dengan keadilan.
3)      Tatawwu’iyyah, yang berarti sukarela (volunterisme). Satu hal yang harus dipegang dalam kesukarelaan ini adalah dalam menjalankan pemikiran, gerakan dan amalan, Nahdliyin tidak boleh memaksakan pada pihak lain (lã ijbãriyyah). Artinya, orang NU harus memperhatikan hak-hak orang di luar NU. Secara internal, warga NU juga tak boleh bersikap fatalistik (jabbãriyyah), harus senantiasa berusaha dan berinovasi menegakkan tiga pilar Islam Nusantara di atas. Dengan kata lain, tidak ada pemaksaan, tetapi bukan tidak berbuat apa-apa.
4)      Santun (akhlaqiyyah), yaitu segala bentuk pemikiran, gerakan, dan amalan warga Islam Nusantara dilaksanakan dengan santun. Santun di sini berlaku sesuai dengan etika kemasyarakatan dan kenegaraan serta keagamaan.
5)      Tasamuh, yang berarti bersikap toleran, respek kepada pihak lain. Sikap toleran ini tidak pasif, tetapi kritis dan inovatif. Dalam bahasa keseharian warga NU adalah sepakat untuk tidak sepakat.
Secara konseptual, kelima penanda Islam Nusantara tersebut mudah diucapkan, tetapi sulit direalisasikan. Sulit di sini berbeda dengan tidak bisa melaksanakan. Misalnya, sikap Islam Nusantara dalam menyikapi dua arus formalisme keagamaan dan substansialisasi keagamaan berada di tengah. Kedua arus boleh diperjuangkan selama tidak menimbulkan konflik. Prinsip yang harus dipegang dalam hal ini adalah kesepakatan (konsensus), demokratis, dan konstitusional.



4.      Ijtihad Islam Nusantar
Hal penting lain yang ingin penulis sampaikan adalah persoalan ijtihad. Apakah model ijtihad Islam Nusantara? Ijtihad Islam Nusantara adalah ijtihad yang selama ini dipraktikkan oleh NU. Prinsipnya, Islam tak hanya terdiri pada aspek yang bersifat tekstual, tetapi juga aspek yang bersifat ijtihadiyah. Ketika kita menghadapi masalah yang tak ada di dalam teks, maka kita menganggap masalah selesai, artinya tidak dicarikan jawaban.
Islam Nusantara tidak berhenti di sini, tetapi melihat dan mengkajinya lebih dulu lewat mekanisme-mekanisme pengambilan hukum yang disepakati di kalangan Nahdliyin. Hasil dari mekanisme metodologi hukum ini (proses istinbãt al-hukm) harus dibaca lagi dari perspektif Al Quran dan Sunah. Mekanisme metodologi hukum yang biasa dipakai Nahdliyin di sini misalnya adalah maãlahah (kebaikan).
Ilustrasinya, jika sebuah amalan tak ada di rujukan tekstualnya, tetapi ia membawa kebaikan di tengah masyarakat, hal itu justru harus dilestarikan: ”idhã wujida nass fathamma masslahah, idhã wujida al-maslahah fathamma shar’ al-Lãh—jika ditemukan teks, maka di sana ada kebaikan, dan jika ditemukan kebaikan, maka di sana adalah hukum Allah”. Ini uraian singkat dan pokoknya saja. Pembahasan lebih lanjut akan dilakukan di ruang yang lebih luas.
Pada akhir tulisan pendek ini saya ingin mengatakan Islam Nusantara harus lebih digali lagi sebagai perilaku bangsa agar tidak ada lagi hal-hal yang tidak kita inginkan justru terjadi.

C.    Alasan Mengembangkan Islam Nusantara
Islam Nusantara patut didukung. Selain punya landasan dan perangkat kukuh untuk mengembangkannya, Islam Nusantara bisa menjadi model alternatif di tengah gejolak instabilitas politik dan kecamuk konflik serta perang di beberapa negara berbasis Islam.
Berbagai harapan itu tentu punya alasan dan landasan yang menopangnya. Achmad Rifki memberikan 10 alasan kenapa perlu mengembangkan Islam Nusantara.Yaitu :
1.        Islam Agama untuk Manusia
Islam adalah agama yang Allah turunkan untuk manusia, bukan malaikat. Karena itu, Islam mesti berpijak di bumi. Ia mesti bersentuhan dengan budaya dan kondisi sosial manusia. Mengakar dengan persoalan masyarakat. Seperti kata pepatah, di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung.
Nabi Muhammad diutus Allah untuk dakwah kultural sesuai dengan kondisi sosial, politik, ekonomi, dan budaya masyarakat setempat. Allah menegaskan dalam Al-Quran: “Dan Kami tidak mengutus seorang rasul pun melainkan dengan lisan kaumnya (bi lisani qaumihi) supaya ia memberi penjelasan dengan terang kepada mereka” (Q.S. Ibrahim [14]: 4). Bagi sebagian ulama, lisan itu lebih luas dari bahasa (bi lughati qaumihi). Mencakup di dalamnya budaya, adat-istiadat, tradisi, dan peri kehidupan manusia itu sendiri.
Nilai dan keagungan Islam takkan luntur hanya cuma karena bersentuhan dengan budaya manusia. Alih-alih luntur, Islam itu sangat lentur. Kelenturan itu yang kian meneguhkan bahwa Islam itu rahmat bagi semua (rahmatan lil ‘alamin). Karena itu, Islam itu selalu relevan di tiap ruang dan waktu. Tak lekang waktu dan cocok di segala tempat (shalihun li kulli zaman wa makan).
2.        Islam Murni Hanya Milik Allah
Hanya Allah pemilik kebenaran hakiki. Hanya Dia yang paling tahu mana Islam yang murni. Hanya Allah yang paling berhak untuk menentukan mana Islam yang murni. Tak ada jaminan bahwa Islam yang dijalankan di Arab lebih murni ketimbang Islam di belahan dunia lain. Termasuk Islam Nusantara.
Berbagai model keislaman yang berkembang di berbagai negara dan penjuru dunia adalah hasil tafsir ulama dan masyarakat setempat. Mereka mencoba untuk menghidupkan nilai-nilai Islam di tengah identitas kultural mereka juga dalam menghadapi gempuran globalisasi. Mereka ikut berperan dalam perkembangan Islam di berbagai belahan dunia. Masing-masing menampilkan wajah Islam yang khas. Sesuai dengan karakter dan budaya yang hidup dan berkembang di kawasan itu.
Islam itu satu. Secara akidah dan ibadah umat Islam di seluruh dunia seragam. Karena itu pembedaan Islam Nusantara bukan dalam hal teologis. Tapi dalam konteks sosiologis. Ajaran universalnya sama, tapi wajah tampilannya yang berbeda.
3.        Islam Bukan Hanya Milik Arab
 Islam bukan hanya untuk orang Arab, tapi untuk seluruh umat manusia (rahmatan lil ‘alamin). Semua di hadapan Allah setara. Baik Islam orang Arab maupun Islamnya masyarakat Nusantara. Dengan begitu, Islam Nusantara bukan pinggiran. Kedudukannya setara.
Dalam berbagai ayat dan hadis, acapkali kita diinggatkan bahwa Allah hanya melihat isi (hati) dan ketakwaan seseorang. Bukan tampilan luarnya. Dengan menginsyafi itu kita dengan sendirinya merealisasikan tauhid secara utuh.
Islam memang tumbuh dan berkembang di jazirah Arab. Nabi telah membangun fondasi masyarakat beradab di sana, khususnya di Madinah. Tapi perkembangan Islam kemudian, yang disebut-sebut masa kejayaan/keemasan dan peradaban Islam, malah terjadi di daerah lain seperti Andalusia, Spanyol, Eropa. Dengan begitu, Islam Nusantara punya potensi yang sama dengan wilayah lain untuk mengembangkan peradaban Islam di masa mendatang.
4.        Akulturasi Budaya Hasilkan Peradaban
Masa keemasan Islam yang ditandai dengan pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan tak dapat disangkal hasil akulturasi antara ajaran Islam dan budaya falsafah Yunani. Alih-alih menghancurkan Islam, akulturasi budaya itu menghasilkan peradaban Islam yang luhung.
Berbagai ranah ilmu pengetahuan berkembang pesat. Mulai dari falsafah, tafsir, psikologi, kedokteran, astronomi, arsitektur, matematika, geologi, dan lain sebagainya.
Perkembangan berbagai ranah ilmu pengetahuan yang dikembangkan para filsuf dan ilmuwan muslim itu kemudian jadi referensi sekaligus inspirasi dunia. Bahkan peradaban Barat kini “berhutang” pada peradaban Islam kala itu.
5.        Islam-Arab Tak Identik
Islam Nusantara bukan untuk menabuh genderang konflik rasial  dan ingin mengkotak-kotakkan umat Islam.  Tujuan utama Islam Nusantara adalah menjaga esensi dan substansi ajaran Islam.
Islam dan Arab tak identik. Islam adalah agama yang Allah turunkan pada Nabi Muhammad. Arab adalah bangsa yang mempunyai budaya tertentu. Dengan prinsip tauhid, kita mesti memisahkan mana wilayah yang sakral dan kudus serta mana yang tak suci.
Tiap masyarakat punya budaya dan karakteristik masing-masing. Karakteristik penduduk sahara tentu berbeda dengan budaya kepulauan atau bahari. Yang pertama, lebih keras. Yang terakhir seperti air, mengalir. Membaur. Tanpa menghilangkan jati diri dan tak keluar dari koridor esensi ajaran Islam. Dengan ini, Islam Nusantara berkembang dan sudah teruji tahan banting dan sanggup menjaga kemaslahatan umat.
6.        Bukan Aliran Baru
Islam Nusantara bukan aliran, ajaran, mazhab, apalagi agama baru. Islam Nusantara merujuk pada fakta sejarah bahwa penyebaran Islam dan praktik keislaman di wilayah kepulauan ini dilakukan dengan pendekatan budaya. Bukan dengan doktrin yang kaku dan keras. Karena itu Islam mudah diterima di hati masyarakat. Bahkan kini menjadi mayoritas di negeri ini.
Dakwah Wali Songo, khususnya di Jawa, membuktikan bahwa keislaman dan kenusantaraan atau keindonesiaan bukan untuk saling dipertentangkan. Keduanya bisa berjalan harmonis dan bahkan saling memperkuat. Banyak kearifan lokal masyarakat Indonesia dan Nusantara sejalan dengan nilai-nilai Islam. Budaya terbukti dapat menjadi papan selancar dakwah Islam yang efektif.
Islam Nusantara sendri berpedoman dan mengacu pada Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Setidaknya ada tiga unsur utama Islam Nusantara. Pertama, teologi (kalam) Asy’ariyah. Kedua, fikih Syafi’i. Ketiga, tasawuf al-Ghazali dan al-Syadzili.
7.        Ejawantah “Negara” Madinah
Islam Nusantara adalah ejawantah dari apa yang Nabi Muhammad lakukan di Madinah. Di “negara” Madinah itu Rasulullah membuat kontrak sosial yang berbentuk Piagam Madinah. Bukan hanya dengan umatnya sendiri, tapi juga dengan kalangan Yahudi dan Nasrani. Di Nusantara/Indonesia, Piagam Madinah itu berwujud Pancasila.
Sebagai payung hukum, Piagam Madinah dan Pancasila melindungi warganya secara setara dan tanpa diskriminasi. Tanpa memandang ras, etnis, dan agama. Sebagaimana juga di Madinah, tiap warga negara wajib berpartisipasi dalam menjaga keutuhan negara kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Kecintaan pada bangsa dan negara tak mengurangi sekecil pun kecintaan kita pada Islam. Bahkan mempertahankan NKRI dan mengamalkan Pancasila merupakan realisasi dari ibadah umat Islam Indonesia.
8.        Islam Nusantara itu Rahmat
Umat Islam Indonesia atau Nusantara dikenal sebagai masyarakat yang terbuka, moderat, toleran, rukun, dan harmonis. Ramah, cinta damai, terbiasa serta berpengalaman dengan menggelola perbedaan, dan suka dialog serta gotong royong. Tentu masih banyak yang bolong di sana-sini, tapi secara keseluruhan semua itu berjalan relatif baik.
Dalam Islam, perbedaan itu rahmat. Islam sebagai rahmat (rahmatan lil ‘alamin) bagi semesta raya begitu kentara di sini. Karena itu ekstremisme dan terorisme selain bertentangan dengan kultur Nusantara juga tak laku di sini. Esktrimisme hanya akan menimbulkan disharmoni bahkan chaos.
Islam Nusantara dapat berperan sebagai penyeimbang tindakan intoleran dan aksi kekerasan berbasis agama. Tindakan macam ini alih-alih memperjuangkan dan mengharumkan nama Islam agama, sebaliknya malah hanya akan merusak agama. Sebaliknya, Islam Nusantara memberi contoh bagaimana dakwah Islam yang menghasilkan keberislaman yang  jauh lebih kokoh daripada cara-cara kekerasan dan instimidasi dan mudah merasuk ke sanubari masyarakat.
9.        Hilangkan Islamophobia
Dengan karakteristik seperti di atas, Islam Nusantara akan mampu mengikis sedikit demi sedikit fobia masyarakat Barat dan umat non-muslim kepada Islam. Kecurigaan dan prototipe terhadap Islam yang sangar lambat laun akan menghilang.
Sebagai gantinya, masyarakat Barat dan umat non-muslim mengenal Islam secara lebih jelas dan jernih. Dan terbangun dialog yang sehat. Dakwah model ini tentu lebih efektif ketimbang dengan kekerasan.
10.    Islam Alternatif
Beberapa kalangan berharap besar pada kontribusi Islam Indonesia/Nusantara pada dunia. Baik dari kalangan dalam negeri maupun luar negeri. Di antaranya, Presiden Amerika Serikat Barrack Obama dan mantan Wakil Perdana Menteri Malaysia Anwar Ibrahim.
Bahkan cendekiawan Muslim Indo-Pakistan, Fazlur Rahman (1919-1988), dalam sebuah kesem­patan pernah menyam­paikan optimismenya bahwa kebangkitan peradaban Islam akan dipelopori Indonesia. Dengan syarat umat Islam negeri ini meningkatkan kualitas ilmu-ilmu keislaman dan menguasai teknologi.
Berbagai harapan itu tentu punya landasan yang menopangnya. Di antaranya, seperti yang sudah disebutkan di atas. Karena itu, Islam Nusantara bisa menjadi model alternatif di tengah instabilitas politik yang terus bergejolak dan kecamuk konflik dan perang di beberapa negara berbasis Islam.
Seperti kata pendiri NU, Hadratus Syeikh KH Hasyim Asyari, ikhtiar menghadirkan Islam Nusantara di tengah masyarakat dunia pada prinsipnya upaya mewujudkan tata dunia yang kondusif bagi persemaian keadilan, perlindungan hak, perbaikan kualitas hidup, dan kemakmuran masyarakat. (http://www.madinaonline.id ).


















BAB  III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
1.    Banyak para ahli memberikan definisi berbeda tentang Islam Nusantara, secara sederhana definisi Islam Nusantara adalah sebuah praktik keislaman di Bumi Nusantara sebagai hasil dialektika antara teks syariat dengan realita dan budaya setempat, bukan faham atau agama baru tapi agama yang ada di Nusantara yang di bawa oleh Wali Songo dari dulu sampai sekarang.
2.    Islam Nusantara muncul dilatar belakangi atas sebuah pemikiran bahwa Islam adalah agama damai, agama kemanusiaan dan saling menghargai ( Moderat ), sementara di timur tengah sebagai wilayah turunnya Islam selalu bergelut dengan suasana konflik, yang justeru tidak mencerminkan ruh Islam yang sebenarnya.
Dan Islam yang dibawa Wali Songo sampai sekarang ( yang diamalkan oleh NU ) dapatlah kiranya dijadikan acuan sebagai alternatif menunjukkan ruh Islam yang sebenarnya, yang kemudian menjadi cikal bakal munculnya istilah Islam Nusantara.
KH.Ma’ruf Amin merumuskan ada 3 pilar ( Rukun ) dalam konsep Islam Nusantara  yaitu :   a). Fikroh   b). Harokah, dan  c). Amaliyah,  dengan  ditandai  5  ( Lima ) ciri, yaitu : 1). Reformasi ( Ishlahiyyah ), 2). Tawazzuniyah  3). Tatawwu’iyyah,  4). Santun ( Akhlaiyyah ), dan 5). Tasamuh.
Menurut beliau, Islam tidak hanya terdiri dari aspek tekstual, tapi juga ada aspek yang bersifat Ijtihadiyyah, artinya jika ada hal yang tidak ditemukan dalam teks agama, maka permasalahan tidak berhenti disini, melainkan dicari solusinya dengan metode dan mekanisme yang disepakati ( Istinbath al-hukmi ).
3.    Ada 10 alasan mengapa Islam Nusantara harus dikembangkan, yaitu : 1). Islam Agama untuk manusia, 2). Islam murni milik Alloh, 3). Islam bukan hanya milik Bangsa Arab, 4). Akulturasi Budaya menghasilkanperadaban, 5). Islam dan Arab tidak identik, 6). Bukan aliran baru, 7). Ejawantah “ Negara “ Madinah, 8). Islam Nusantara itu rahmat, 9). Hilangkan Islamophobia dan 10). Islam alternatif.
B.     Saran
Kritik dan saran dari semua pihak terutama Dosen Pengampu sangat penyusun harapkan demi perbaikan – perbaikan pada makalah ini, karena penyusun menyadari keterbatasan pengetahuan dalam hal ini.
Dan bagi generasi muda NU hendaklah mensosialisasikan Islam Nusantara agar masyarakat luas mengerti dan faham seputar Islam Nusantara, supaya tujuan dan misi para kiyai sepuh terkait keberlangsungan keagamaan dalam bingkai NKRI dapat dipertahankan selamanya, dan Islam Indonesia mampu menjadi referensi bagi Muslim di penjuru dunia dalam mengamalkan agama Islam sebagai keyakinannya.





































DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman Mas’ud, (2006), “Dari Haramain ke Nusantara : Jejak Intelektual Arsitek Pesantren”, Jakarta: Kencana, hlm. 54-58.
Abdurrahman Mas’ud, (2004), Intelektual Pesantren: Perhelatan Agama dan Tradisi. Yogyakarta: LKiS, hlm. 9.
Bruce Lawrence, The Quran: A Biography, diterj. Aditya Hadi Pratama, Al-Qur’an : Sebuah Biografi (Cet. I; Bandung: Semesta Inspirasi, 2008), h. 2-4.
Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an dan Terjemahnya (Semarang : Toha Putra, 2007), h. 461.
Jaih Mubarok, Sejarah Peradaban Islam (Cet. I; Bandung: Pustaka Islamika, 2008), h. 275-276.
Hamka, Islam: Rahmah untuk Bangsa (Cet. I; Jakarta: Wahana Semesta Intermedia, 2009), h. 29-31.
http://www.madinaonline.id/k
Muhammad Hari Zamharir, Agama dan Negara: Analisis Kritis Pemikiran Politik Nurcholish Madjid (Cet. I; Jakarta : RajaGrafindo Persada, 2004), h. 175.
M. Dawam Rahardjo, Paradigma Al-Quran: Metodologi Tafsir dan Kritik Sosial (Cet. I; Jakarta : PSAP Muhammadiyah, 2005), h. 132-133.
M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Quran:Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat (Cet. I; Bandung: Mizan, 2007), h. 330-331.
M. Quraish Shihab, (2007), Secercah Cahaya Ilahi: Hidup Bersama Al-Qur’an, Bandung: Mizan, hlm.52.
Said Agil Husin al-Munawar, Al-Qur’an Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki (Cet. III; Jakarta: Ciputat Press, 2003), h. 287-288.

Shāfī al-Rahmān al-Mubār Kafūrī, al-Rahīq al-Makhtūm: Bahts fī al-Sīrah al-Nabawiyyah ‘alā Shahibihā Afadal al-Shalah wa al-Salām (Cet. XXI; Mesir: Dār al-Wafā, 2010), h. 21.

 ‘Umar ‘Abd al-Jabbār, Khulāshah Nūr al-Yaqīn fī Sīrah Sayyid al-Mursalīn (Surabaya : Sālim Nabhān, t. th.), h. 5. Lihat pula: Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban (Cet. I ; Jakarta: Paramadina, 1992), h. 425.


2 komentar: